Saya
ingin berbagi pengalaman ketika saya mengikuti acara Temu Nasional
Kewirausahaan Sosial 2012 yang di selenggarakan di Semarang. Acara yang
berlangsung dari tanggal 8 – 10 September 2012 tersebut diikuti oleh anggota
AKSI (Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia), mahasiswa, dan tamu undangan
lainnya.
Acara
Temu Nasional Kewirausahaan Sosial dilaksanakan di Rumah Belajar Jaringan Rumah
Usaha di Semarang pada tanggal 8 September 2012 sebagai acara jamuan makan
malam dan sambutan selamat datang dari panitia Semarang. Para panitia itu adalah rekan-rekan dari
Jaringan Rumah Usaha. Meskipun tamu-tamu yang diundang belum semuanya hadir
pada malam itu, namun suasana begitu terasa akrab. Kami membaur satu sama lain.
Acara dilanjutkan dengan jagongan dan
sambung rasa. Semua tamu yang hadir memperkenalkan diri satu per satu. Kami
berbagi cerita mengenai kegiatan kewirausahaan sosial masing-masing.
Saya
begitu terkejut, rupanya para tamu yang hadir dalam acara itu bukan hanya terdiri
dari pengusaha senior saja, tapi juga ada mahasiswa, bahkan seorang anak yang
usianya kurang lebih sepuluh tahun. Anak kecil itu bernama Elan. Ia sering
menyebut dirinya sebagai anak professional. Hal itu karena sejak kecil ia tidak mau
bersekolah dan lebih suka belajar tanpa adanya ruang dan batasan, “Sejak kecil
saya malas berangkat sekolah, saya lebih suka belajar dengan Ibu dan Bapak.” Ujar
Elan.
Meskipun
tidak mengenyam pendidikan secara formal, si Anak yang bermimpi menjadi ahli
robot tersebut memiliki kemauan besar untuk
belajar. Ia belajar secara informal
dengan ibunya – ibu Septi Peni Wulandari - yang juga ia sebut dengan panggilan
Ibu Profesional dan ahli robot lainnya. Sekarang Elan mempunyai berbagai macam
bentuk robot karyanya sendiri yang dibuat dari bahan daur ulang.
Kisah
unik dari Elan telah memberikan pelajaran berharga buat saya. Saat ini banyak
anak-anak yang bersekolah dan
melanjutkan di bangku kuliah hanya untuk mencari gelar atau ijazah sarjana
saja. Namun, dari si Anak Profesional ini, saya belajar bahwa sekolah bukanlah jaminan
untuk sukses, juga bukan satu-satunya sarana untuk belajar. Melainkan kita bisa
belajar dimana saja, kapan saja, dan dengan cara bagaimanapun juga.
Tanggal 9 Sepetember
Pada
tanggal 9 acara dilaksanakan di Ballroom
Astoria hotel Dafam Semarang. Pada acara Temu Nasional Kewirausahaan Sosial ini
ada dua diskusi, yaitu yang pertama adalah diskusi Paralel yang terbagi menjadi
5 topik dengan moderator yang berbeda disetiap topiknya dan yang kedua adalah
diskusi Panel.
Diskusi
parallel ini ditujukan untuk menjaring berbagai ide dan pengalaman menjadi satu
pikiran bersama dari segenap anggota Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia
(AKSI) dan juga dari peserta lainnya yang turut hadir, atas berbagai persoalan
sosial yang ada di Indonesia. Kontributor pada diskusi ini ada Cahyo Suryanto
(Pusdakota Surabaya), Sugeng Siswoyudono (Program 1000 Kaki Palsu Gratis),
Ahmad Juwaini (Direktur Eksekutif Dompet Dhuafa), Toto Sugito (Bike 2 Work
Community), dan juga Rhenald Kasali selaku ketua AKSI dan pendiri Rumah
Perubahan.
Dalam
acara tersebut, Rhenald Kasali mengemukakan bahwa Jawara adalah orang-orang
yang mau mengurusi masa depan. “Perbedaan seorang jawara dengan pecundang
adalah seorang Jawara akan mencari opportunity,
sedangkan pecundang hanya mencari-cari alasan.” Ujar Rhenald, yang juga
dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI).
Dalam kesempatan tersebut, Rhenald juga mengkritisi
mengenai kurikulum pendidikan di Indonesia. “Di Indonesia ini kurang tepat jika
mengubah-ubah kurikulum, kita juga perlu mengubah paradigma manusianya. Banyak
orang-orang hanya mengukur tingkat kecerdasan dari sebuah angka – nilai –
bukanlah sebuah impact dari apa yang sudah dipelajari oleh si pelajar.
Banyak anak-anak yang cerdas yang tidak tertampung atau mendapat fasilitas
sekolah karena keterbatasan ekonomi. “
Rhenald
menambahkan, “Pendidikan kita itu tidak membentuk kita menjadi human driver, namun membentuk kita
menjadi human passenger, hanya
menumpang. Tidak mengendalikan. Harusnya mampu mengendalikan.”
Seperti
yang dikemukakan oleh Rhenald Kasali bahwa kaya bukanlah tujuan utama seorang
wirausaha sosial. Tidak hanya fokus pada keuntungan semata, namun juga bisnis
memberikan dampak yang bermanfaat bagi pemberdayaan manyarakat.
Acara
selanjutnya diadakan diskusi panel yang dilaksanakan dalam Forum Wedangan dengan
mengangkat tema “Menjalin Persaudaraan Membangun Mental Jawara”. Pada forum
kali ini, tamu diajak untuk mengkaji kembali peranan penting karakter,
kepemimpinan, dan networking dalam
membangun mental jawara. Pada forum tersebut, selain Rhenald Kasali juga dihadiri
pendiri AKSI Sandiaga S Uno, Ketua Umum Kadin Jateng Kukrit Suryo Wicaksono, Haji
Idin pendiri Komunitas Sangga Buana, dan budayawan Prie GS.
Dalam
Forum tersebut, Kukrit Suryo Wicaksono dan Prie GS pun menyampaikan bahwa
dibutuhkan mental jawara untuk menghadapi kegagalan-kegagalan yang mungkin
terjadi dan mampu melewatinya tanpa putus asa dan modal utama mencapai
kesuksesan adalah menjalin networking yang seluas-luasnya. Bapak Sandiaga S.
Uno menambahkan bahwa ada empat cara kerja yang seharusnya dilakukan seorang
wirausaha sosial, yaitu kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas, dan kerja
ikhlas.
Diakhir
acara, para para tamu saling membaur, berbincang-bincang, saling kenalan, jagongan hingga acara selesai. Dalam
acara tersebut, ada point penting yang
menjadi tujuan utama bagi saya, yaitu memperluas networking, mencari teman, dan mendapatkan banyak cerita mengenai
pengalaman berwirausaha sosial yang mampu meningkatkan semangat saya. Meskipun
saya masih dalam proses belajar dan belum memiliki usaha yang pasti namun saya
yakin, dengan mengikuti acara-acara seperti itu adalah langkah awal yang baik
untuk saya.
Pada
tanggal 10 September 2012 acaranya adalah kunjungan ke SLB Negeri Semarang dan
berkunjung ke Jaringan Rumah Usaha. Namun sayangnya saya tidak bisa mengikuti
acra tersebut. Saya harus kembali ke dunia saya, kuliah dan melanjutkan mimpi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar