Mana yang dibilang cinta? tapi tak pernah menghormatiku. Mana yang katanya setia? Tapi mengkhianatiku - xxxx
Aku hanya diam. Sudah beberapa jam lamanya kami duduk berhadapan di sebuah meja di sudut kafe kopi. Satu gelas kopi dan susu pun hampir kehilangan kehangatannya. Ku tunggu dia memulai lagi pembicaraan kami. Tapi dia masih tenggelam dalam emosinya.
Aku takut dia marah. Aku takut dia akan mengatakan hal buruk dalam sebuah hubungan. Ya. Putus. Tapi ku harap tidak. Jangan...jangan katakan itu...
Detik jarum jam di dinding terdengar keras sekali, bersaut sautan dengan detak jantungku saat itu. Ku tetap diam, tak berani berkata apa-apa.
Menatapku tajam, lalu dia berkata, "Anita, Aku letih mengharapkan kebahagiaan lagi. Mana yang dibilang cinta? tapi tak pernah menghormatiku. Mana yang katanya setia? Tapi mengkhianatiku. Mana yang katanya perhatian? tapi aku ditelantarkan..."
Ku pegang tangannya, Kuisyaratkan untuk memelankan suaranya. Beberapa orang disebelah menengok ke arah kami.
Dia terisak, tak kuat menahan tangisan.
"Aku bosan dengan cinta yang setengah-setengah. Aku bosan dengan cinta palsu."
Ku pegang tangannya lebih erat. Sedih mendengarnya...
"Jadi gimana? Mau putus?" tanyaku sedikit ragu.
Sambil terisak, dia menjawab. "Iya...Aku nggak kuat, Anita! Lebih baik aku putusin dia saja. Wanita mana yang bisa sabar dengan ketidakpekaannya? Wanita mana yang sabar dengan sikap kasarnya? Kamu sendiri membutuhkan laki-laki yang bahkan dengan gesturnya saja bisa menyenangkan hatimu kan? Sedang dia? Mana pernaaaaahhh...!"
Diam.
"Nggak ada laki-laki yang lebih buruk dari seorang munafik, Anita. Kalau berkata, dia bohong. Setelah berjanji, dia mengingkari. Kalau ku percaya dia justru ingkar. jihh..." dia meludahi kopinya.
"Cukup sampai disini saja aku pacaran dengan dia...." air matanya pun kini bercucuran..
Ku berpindah duduk disampingnya. Kupeluk dia seakan sudah berteman puluhan tahun lamanya. Tidak. Aku tak mengenalnya. Bahkan aku belum tahu siapa dia. Kutemui dia beberapa jam lalu. Ketidaksengajaan membawaku dalam perbincangan ini. Lalu ku temani dia, ku dengarkan kesedihan yang menggalauinya. Kuusap air matanya. Ku selami hatinya.
Bukankah begitu dengan sesama wanita? Bukankah begitu yang diinginkan wanita? Saat sedih, dia hanya ingin didengar? meskipun yang mendengarkan tak bisa memberi saran...
Bukankah begitu dengan sesama wanita? Bukankah begitu yang diinginkan wanita? Saat sedih, dia hanya ingin didengar? meskipun yang mendengarkan tak bisa memberi saran...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar